K. A. Dardiri Zubairi
Selepas aksi 212, FPI sebagai motor aksi menyita perhatian umat Islam di Indonesia. Di media massa, apalagi di media sosial FPI menjadi trending topic. Setiap hari nyaris tidak ada pemberitaan tanpa FPI. FPI sebagai motor aksi telah memunculkan banyak spekulasi yang mengakibatkan sikap pro-kontra.
Sayup-sayup FPI tiba juga di
Madura. Kebetulan organ yang memfasilitasi di Madura sudah siap, yaitu AUMA
(Aliansi Ulama Madura), sebuah ormas baru yang yang lumayan keras. Karena itu
dengan mudah FPI tinggal dikloning. Setidaknya ini yang terjadi di Sumenep,
meski di daerah lain seperti Bangkalan FPI jauh lebih dulu berdiri ketimbang
AUMA.
Sebagai ormas baru AUMA, yang 2-3
tahun kemarin didirikan, sepertinya mau mengulang peran Bassra yang ketika
pemerintah ORBA kritis kepada penguasa, terutama berkaitan dengan rencana
pembangunan jembatan Suramadu, meski saya melihat perannya sangat beda. Di
samping fokus isunya berbeda, AUMA sepertinya memilki jaringan kuat dengan
ormas senapas di Jakarta, makanya setali tiga uang dengan FPI, bahkan dalam
kasus Sumenep tokoh AUMA terlibat memfasilitasi berdirinya FPI. Ini berbeda
dengan Bassra yang fokus pada isu lokal.
Bagi saya kehadiran ormas apapun
sah didirikan. Selama dibutuhkan dan bisa memperkuat cita kemerdekaan dan bisa
diharapkan menjadi corong Islam rahmatal lil alamin tidak jadi masalah.
Cuma ketika kehadirannya mengusik NU dan warga nahdiyin serta visi
kebangsaan, maka penting ormas baru ini disikapi. Tulisan ini
hanya hendak merespons usikan terhadap NU tersebut.
Setidaknya dalam usaha merekrut
massa, ada tiga isu yang sengaja diwacanakan FPI dalam pertemuan-pertemuan umum
yang mengusik NU. Tiga isu ini penting direspons agar tidak
menimbulkan kesalahpahaman terutama kepada warga nahdiyin.
Pertama soal isu bahwa petinggi
FPI di Madura (setidaknya kasus di Sumenep) selalu mengatakan dalam ceramahnya,
"saya ini ikut NU-nya Kiai Hasyim Asy'ari, NU "se kona" (yang
dulu)". Mafhum mukhalafah-nya, sama NU sekarang kurang mengakui.
Bagi saya pernyataan seperti itu
patut direnungkan. Pertanyaannya, bagaimana mau ikut KH. Hasyim padahal tidak
sezaman? Dari mana kita bisa meyakini bahwa NU kita sama dengan Kiai
Hasyim? Barangkali bisa dijawab bahwa pengikut FPI berpegangan terhadap kitab
peninggalan Kiai Hasyim. Namun kalau pun mengacu kepada kitab Kiai
Hasyim, bukankah kita tidak bisa sepenuhnya mengatakan bahwa penafsiran atas
teks kitab Kiai Hasyim sama dengan kehendak Kiai
Hasyim?
Dengan kasus beda, hal ini mirip
dengan kelompok Islam yang mengatakan ikut nabi dengan berpegangan kepada Alquran dan Hadis sambil
nenolak ijma’ dan qiyas. Dalam tradisi NU cara beragama seperti ini
kurang bisa dipertanggungjawabkan karena tanpa sanad yang jelas.
Sama dengan ber-NU,
kalau mengikuti NU-nya Kiai Hasyim dengan menolak NU sekarang berarti NU-nya
kurang bisa dipertanggungjawabkan karena tanpa sanad yang jelas. Padahal sanad
inilah yang membedakan NU dengan kelompok lain.
Di samping sanad keilmuan, di NU
juga dikenal sanad perjuangan. Secara kelembagaan, tentu saja sanad ini tidak
bisa diperoleh dengan meloncat ke masa Kiai Hasyim tetapi bisa kita peroleh
melalui sanad yang sudah terlembagakan melalui pesantren sekaligus NU dari masa
ke masa hingga sekarang. Jadi, sanad ibarat mata rantai tidak bisa digunting,
tidak bisa diputus.
Saya paham, sikap seperti di atas
salah satunya dipicu oleh sikap dislike sebagian tokoh NU terhadap Kiai
Said Aqil. Kebetulan ada skenario besar yang terus-menerus mengeroyok Kiai Said
dengan informasi hoaks sejak isu liberal, syiah, Ahoker, dan sebagainya yang sayangnya tanpa bertabayun langsung dianggap sebagai kebenaran oleh
sebagian warga NU yang nyeberang ke FPI.
Namun jika tidak suka ketua umum
PBNU tidak perlu menyerang NU. Apalagi sampai nyeberang ke organisasi
lain. Apalagi lepas suka atau tidak, Kiai Said terpilih dalam muktamar
NU, ini hasil ijma' pengurus NU se-Nusantara. Jika beliau dianggap salah sekalipun, ada mekanisme
organisasi yang mengatur bagaimana masalah ini bisa diselesaikan. Bukan malah
gabung ke organisasi lain sambil terus memojokkan NU apalagi hanya untuk
merebut hati warga NU.
Dalam konteks inilah pernyataan
bahwa "saya pengikut NU-nya Kiai Hasyim" tidak ada dasarnya dan tidak
bisa dipertanggungjawabkan. Bagaimana mungkin bilang pengikut NU Kiai Hasyim,
sementara pada saat bersamaan justru memojokkan jamiyah yang beliau
dirikan?
Isu kedua yang sering dinyatakan
pendukung FPI adalah, "amar ma'ruf ikut NU, nahy munkarnya ikut FPI".
Pernyataan ini seolah hendak menegaskan bahwa NU lembek, tidak tegas dan adem.
Sementara FPI sebaliknya; tegas, lantang, dan berani.
Namun izinkan saya menjelaskan
bahwa NU dalam menjalankan dakwahnya memiliki jalan dan cara sendiri, dan tentu
saja NU tidak perlu mengikuti jalan dan cara ormas lain. Jalan dan cara NU ini
merupakan hasil dari endapan proses panjang yang sudah ditempuh sejak
Walisongo. Hasilnya bisa kita rasakan hingga sekarang.
Setidaknya ada tiga ciri dakwah
NU. Pertama, tadriji di mana dakwah ditempatkan dalam proses panjang,
tidak buru-buru, perlahan dan bertahap. Kedua, taklitut taklif yaitu
tidak memberatkan masyarakat atau tidak memaksa. Ketiga, 'adamul haraj
yaitu tidak mengancam siapa pun. Makanya dakwah Walisongo yang menjadi sanad
biologis NU selalu menempuh jalur kultural, sehingga dakwahnya berhasil, ibarat
menangkap ikan, ikannya ditangkap tanpa mengeruhkan airnya.
Kedua, amar ma'ruf nahi munkar
ibarat dua
sisi mata uang yang tidak bisa dipisah. Ketika NU lebih mengedepankan amar
ma'ruf sebenarnya include di dalamnya juga ada nahi munkar. Jika
secara gradual mengajak orang agar salat, hakikatnya mengajak orang itu agar
tidak meninggalkan salat. Tentu sesuai langgam dakwah NU, ajakan agar salat
dilakukan dengan lembut sebagaimana prinsip di atas. Dalam konteks ini, fiqhul
ahkam dimodifikasi secara cerdas menjadi fiqhuddakwah dan fiqhussiyasi.
Sekali lagi NU memiliki jalan
sendiri yang sering disebut "alaa thariqati Nahdlatil Ulama".
Jika tidak sama dengan ormas lain ya wajar. Nah, kalau ada orang NU mencampur
aduk strategi dakwah NU dengan ormas lain menurut saya tidak tepat.
Isu ketiga yang sering saya
dengar dihembuskan oleh pengikut FPI bahwa, "yang penting Aswaja,
meski tidak ikut NU". Pernyataan seperti di samping lemah, juga berbahaya.
Persis seperti semboyan anak muda, "spirituality yes, religion
no.”
Kesalahan pertama menurut saya,
pernyataan di atas ibarat seorang salik mau menggapai hakikat dan makrifat
dengan melampaui syariat. Ia hanya butuh roh tanpa butuh jasad. Tentu dalam
konteks Indonesia, apalagi pernyataan ini sengaja dihembuskan di lingkungan
warga nahdiyin tentu sangat berbahaya.
Kesalahan kedua, ber-aswaja
dan ber-NU
bagi warga nahdiyin mutlak diperlukan. Karena Aswaja tanpa ada organisasi yang
menopangnya akan mudah dihancurkan. Ingat Aswaja di timur tengah dengan mudah bisa dipecah belah
oleh kelompok lain karena tidak ada wadahnya.
NU dibangun oleh para kiai dulu
dalam rangka "litauhidi shufufil ulama", menyatukan saf para
ulama dalam meneguhkan dan memperjuangkan Aswaja sekaligus melawan para
penjajah. Maka jika ada pengikut Aswaja tidak ber-NU hakikatnya ia tidak mau merapat dalam barisan
ulama. Saya
meyakini mereka akan mudah menjadi santapan kelompok lain yang bahkan tidak
senapas dengan Aswaja, misalnya salafi-wahabi atau HTI.
Mari rapatkan lagi barisan pengikut dan pendukung Aswaja. Agar kuat masuklah kembali dalam barisan, ber-aswaja dan ber-NU. Jika ada yang tidak cocok baiknya tabayun dan bermusyawarah. Bukan malah menyeberang ke organisasi lain sambil memojokkan NU. Kalau misalnya tetap tidak mau ber-NU, jangan mengajak warga nahdiyin sambil menyebar berita tidak benar dan atau memprovokasi dengan alasan-alasan yang bisa menimbulkan pertentangan di masyarakat. Mari, stop menjadi setengah nahdiyin! @Wallahu A'lam
Sumber: Buku Wajah Islam Madura, A. Dardiri Zubari (Taresia, 2020)