Situs Resmi Pondok Pesantren Nasy'atul Muta'allimin Gapura Sumenep Madura
GAMBAR LATAR

GAMBAR LATAR

Selayang Pandang PP Nasa Gapura

Selayang Pandang

PP Nasy’atul Muta’allimin (NASA) Gapura Timur Gapura Sumenep



Latar Belakang Berdirinya PP Nasa

Pesantren Nasa secara resmi berdiri tahun 1961, meski defacto ia telah ada jauh sebelum 1950-an. Pada awalnya, cikal bakal pesantren ini bemula dari pengajian kitab kuning yang diselenggarakan secara individual oleh KHA. Zubairi (meninggal 25 April 2004). Ketika itu beliau baru kembali dari Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk, pesantren tertua di Sumenep yang lokasinya 40 km ke arah barat  dari Pesantren Nasa. Di samping kitab kuning, beliau juga memberi kursus bahasa arab, nahwu, dan sharraf. Pengetahuan ini di pesantren dikenal sebagai “ilmu alat”, karena fungsinya sebagai “pintu masuk” untuk memahami kitab kuning.

Pendirian pesantren “Nasy-atul Muta’allimin” didasarkan atas tujuan mengembangkan pendidikan keagamaan dan pembentukan akhlak al-karimah. Tujuan itu mengacu pada tradisi keagamaan aswaja sebagaimana tertuang dalam kitab kuning yang umumnya menjadi rujukan pandangan keagamaan pesantren.

Meski resminya berdiri tahun 1961, sejak tahun 1950-an sebenarnya sudah ada beberapa orang yang menetap di kediaman KHA. Zubairi, di samping beberapa orang yang pulang pergi (santri kalong). Sedikitnya jumlah santri tidak menurunkan semangat KHA. Zubairi. Dengan semangat keikhlasan beliau menghabiskan waktu dan tenaganya untuk menyemai pendidikan keagamaan. Apalagi dalam tradisi pesantren diajarkan untuk selalu mengamalkan ilmunya dengan menyebarluaskan kepada masyarakat secara ikhlas.

Usaha pengembangan pendidikan sebagai cikal-bakal lahirnya pesantren makin menemukan titik terang setelah adik beliau, KH Moh. Asy’arie dan K. Ja’far (meninggal 1975) juga kembali dari pesantren Annuqayah Guluk-Guluk. Wujudnya, pada tahun 1959 didirikanlah Pesantren “Al-Marzuqi”, nama yang diambil dari ayah beliau KH. Marzuqi, karena jasanya yang juga memberikan pendidikan agama ketika beliau masih hidup.


Mendirikan Pendidikan Formal

Seiring dengan besarnya minat masyarakat terhadap pendidikan agama, pesantren al-Marzuqi pada tahun 1961 mendirikan lembaga pendidikan formal yaitu Madrasah ibtidaiyah (MI) “Nasy-atul Muta’allimin”. Nama “Nasy-atul Muta’allimin” sendiri yang berarti “tumbuhnya para pelajar” diambil untuk menggambarkan kesadaran masyarakat yang mulai meningkat terhadap pendidikan pada masa itu. Saat itu pula nama “Nasy-atul Muta’allimin” dijadikan nama pesantren menggantikan nama “Al-Marzuqi” sebelumnya.

Pada tahun 1973 “Nasy-atul Muta’allimin” membuka pendidikan formal lanjutan yaitu Madrasah Tsanawiyah (MTs) untuk menampung lulusan MI yang ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Tetapi pada tahun 1974 MTs bubar, karena siswanya yang tadinya berjumlah 15 orang terus berguguran. Alasan drop outnya siswa terkait dengan tradisi orang Madura yang menikahkan anaknya di usia dini.

Pada tahun 1977 pendirian MTs “Nasy-atul Muta’allimin” dirintis kembali. Usaha yang kedua kalinya ini tidak sia-sia, karena perkembangannya terus mengalami peningkatan yang signifikan. Pada tahun 1986, “Nasy-atul Muta’allimin” terus mengembangkan pendidikannya dengan membuka Madrasah Aliyah (MA). Dan pada tahun 1998 membuka TK “Nasy-atul Muta’allimin”.

Jumlah siswa-siswi dari TK hingga MA saat ini lebih kurang berjumlah 750. Sementara yang tinggal di pesantren berjumlah 250 putra-putri yang rata-rata datang dari Kabupaten Sumenep sendiri.


Pengembangan Masyarakat

Di samping mengemban missi pendidikan, pesantren juga merupakan lembaga kemasyarakatan. Apalagi pesantren dalam mengembangkan perannya –terutama dalam bidang pendidikan—bertumpu pada partisipasi dan swadaya masyarakat.

Pada masa-masa awal, peran kemasyarakatan pesantren “Nasy-atul Muta’allimin”dilakukan secara individual oleh pengasuh dan  fokusnya pada  penguatan wacana keagamaan dan pembentukan pribadi yang ber-akhlak al- karimah. Media yang digunakan melalui tahlilan yang dilakukan dari rumah ke rumah di masyarakat sekitar pesantren. Di samping itu, pengasuh juga membuka pengajian kitab kuning untuk masyarakat umum yang ditempatkan di pesantren sendiri.

Pada awal decade 80-an baru pesantren “Nasy-atul Muta’allimin” mengenal konsep “pengembangan masyarakat” (community Development) melalui Biro Pengabdian Masyarakat Pondok Pesantren Annuqayah (BPM-PPA) yang saat itu bermitra dengan LP3ES, Jakarta. Programnya ketika itu adalah income generating melalui usaha simpan pinjam bagi masyarakat miskin yang di “Nasy-atul Muta’allimin” ditangani BHM (Biro Hubungan Masyarakat), salah satu lembaga yang dibentuk untuk melakukan tugas-tugas pengembangan masyarakat. Tetapi BHM tidak bertahan lama karena tidak didukung kapasitas kelembagaan dan SDM pengurusnya yang memadai.

Usaha pengembangan masyarakat dirintis kembali  sejak akhir decade 90-an bekerjasama dengan  BPM Annuqayah-Yayasan Dian Desa, Yogyakarta dalam pengembangan air minum melalui tenaga sinar matahari  (SODIS). Dan pada tahun 2002, pesantren “Nasy-atul Muta’allimin” bekerjasama dengan KKK-CGI dalam program “Pendidikan Kedamaian Berbasis Pesantren”.

Kuatnya kembali kesadaran pesantren untuk menegaskan peran kemasyarakatanya, pada tahun 2003 dirintis kembali lembaga yang menangani pengembangan masyarakat melalui LPPM (Lembaga Pengabdian dan Pengembangan Masyarakat). LPPM saat ini sedang melakukan penguatan kapasitas kelembagaan (capacity building).