Situs Resmi Pondok Pesantren Nasy'atul Muta'allimin Gapura Sumenep Madura
GAMBAR LATAR

GAMBAR LATAR

NU dan Tanggungjawab Orang Madura - K. A. Dardiri Zubairi

NU dan Tanggungjawab Orang Madura

K. A. Dardiri Zubairi




Dalam sebuah pertemuan NU, seorang mentor ke-NU-an saya berujar, "orang Madura memiliki tanggung jawab ke-NU-an yang tidak ringan. NU tanpa restu ulama besar Madura, Syaikhona Kholil, tidak akan berdiri. Jika orang Madura tidak memiliki tanggung jawab besar merawat NU, maka ia kelak yang pertama kali akan dimintai pertanggungjawaban"

Mendengar pernyataan di atas warga NU yang hadir dalam pertemuan itu bertepuk tangan. Tidak melulu dalam suasana suka, tetapi tepukan itu lebih dimaknai sebagai cara membangkitkan diri secara intenal. Menyelusupkan roh ke-NU-an para muassis dalam kesadaran dan menggemakannya di ceruk relung batin yang paling dalam. Saya bersaksi pernyataan di atas membuat bulu kuduk berdiri.

Mungkin bagi orang lain, pernyataan di atas tidak lebih dari seorang motivator yang piawai meracik diksi agar para hadirin terkesima, atau malah pernyataan di atas dianggap "lebay". Namun bagi hadirin tentu tidak. Pernyataan di atas bagi warga NU yang hadir dimaknai sebagai menyambung sanad ke-NU-an pada akar historis berdirinya yang tidak lepas dari Syaikhona Kholil, ulama besar Madura. Jadi, NU dan Madura ibarat dua sisi dari satu keping mata uang. Tidak terpisah dan tidak akan terpisah.

Pertama-tama tentu saja, pernyataan di atas bermakna jika dikaitkan dengan pengalaman ke-NU-an di Madura sendiri. Ada gelombang terorganisasi dan by design yang mengobarkan kebencian pada NU melalui cara-cara yang jauh dari akhlakul karimah. Itu masif dilakukan kelompok kanan gado-gado dengan memanfaatkan masyarakat Madura yang kurang well-informed melalui isu-isu liberal, pluralisme, PKI, anti-Tiongkok, tidak suka habaib, dan seterusnya. Isu ini dimainkan dengan cukup masif memanfaatkan momentum Pilpres yang dikendalikan Islam politik di tingkat atas.

Saat ini suasananya memang mulai reda. Residunya tentu masih ada. Untuk sementara sel-sel kelompok kanan setengah mati atau bahkan mati. Namun, seperti menunggu momentum, sel-sel ini akan dihidupkan kembali seiring kepentingan kelompok Islam Politik selanjutnya. Memang, residunya berbeda antar empat kabupaten di Madura. Yang paling besar residunya mungkin di Pamekasan, satu kabupaten yang jejak historisitas SI-nya paling kuat dibanding NU.

Soal ini memang tidak boleh dianggap remeh. Sebagaimana pernyataan Gus Yahya Staquf, Madura masuk dalam skenario "Njakarmadu", satu skenario yang ingin menjadikan basis kelompok kanan setelah Jakarta. Jika basis kelompok kanan kuat di sisi Madura (dan Jakarta sebagai sisi lainnya), maka Jatim dan Jateng sebagai basis Nahdiyin dan nasionalis akan terjepit dan dalam jangka panjang pelan-pelan akan tergerogoti.

Di sinilah makna pernyataan mentor di atas menemukan relevansinya. Orang Madura dituntut memiliki tanggung jawab besar merawat NU sebagai wasilah merawat warisan berharga para muassis NU, termasuk warisan Syaikhona Kholil, ulama besar Madura.

Kontekstualisasi lainnya atas pernyataan mentor di atas adalah tanggung jawab orang Madura untuk merawat persoalan-persoalan agraria; tanah, air, udara yang dipijak, direguk, dan dihirup orang Madura. Soal ini juga tidak kalah beratnya. Madura pasca-beroperasinya jembatan Suramadu menjadi sasaran investasi melalui masifnya penguasaan lahan yang dalam jangka panjang diyakini akan menjadikan orang Madura terpinggirkan. Tidak saja secara sosial-ekonomi, tetapi juga secara budaya. Jika di lahan-lahan yang sudah dikuasai para investor itu nantinya dibangun aneka macam industri, maka tradisi warga nahdiyin juga akan dipinggirkan. Masyarakat industri selalu menghadirkan corak keberagamaan yang rigid, instan, dan puritan satu isi, dan liberal di sini lain.

Dua masalah di atas butuh respons NU (dan tentunya tanggung jawab orang NU Madura). Maka ke depan dibutuhkan rencana-rencana strategis yang dilakukan secara sinergis antar PCNU se-Madura. Dengan menyusupkan spirit ke-NU-an para muassis, khususnya Syaikhona Kholil, saya meyakini orang Madura akan tetap menjadikan NU sebagai "agama". Tentu upaya-upaya kita perlu memadukan antara upaya lahir dan batin.

Teruslah diingat dawuh mentor di atas, "jika orang Madura abai merawat NU, maka orang Madura yang akan dimintai pertanggungjawaban kelak karena mengkhianati warisan Syaikhona Kholil". Jadi, mari membangun Indonesia dari Madura. @Wallahu A'lam

Sumber: Buku Wajah Islam Madura, A. Dardiri Zubari (Taresia, 2020)